Student Center SMK IKIFA

Loading...

Register

Tak Berkategori - 11 November 2023

Mengenal Sejarah Pesantren di Indonesia

SEJARAH PESANTREN

Dalam jurnal Al-Ta’dib, Sejarah Pesantren di Indonesia yang ditulis oleh Herman DM, dijelaskan bahwa pesantren setidaknya mempunyai tiga unsur, yaitu santri, kiai atau guru, dan asrama atau pondok.

Selanjutnya, banyak orang yang memaknai pesantren semata-mata dengan bentuk bangunan fisik pesantren itu sendiri.

Di sisi lain, tidak sedikit pula yang mengenal pesantren dari perspektif yang lebih luas, yakni perannya dalam penyebaran Islam di indonesia, mulai dari membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, keagamaan hingga politik.

Lebih lanjut, kata pesantren yang berakar dari kata santri dengan imbuhan “pe-” di awal dan “-an” di akhir, dapat diartikan sebagai tempat tinggal para santri.

Istilah pesantren pada dasarnya merupakan sebuah tempat pendidikan Islam tradisional yang di dalamnya juga terdapat asrama bagi para siswa atau muridnya. Dengan kata lain, para siswa tinggal bersama dan belajar ilmu agama di bawah bimbingan guru yang dikenal dengan sebutan kiai.

Berdiri di sekitar tempat kiai menetap

Biasanya berdirinya pondok pesantren bermula dari seorang kiai atau ulama agama Islam yang menetap di suatu tempat. Kemudian, datanglah para santri yang hendak belajar berbagai ilmu agama kepadanya.

Tidak jarang santri yang ingin belajar berasal dari daerah yang jauh. Untuk itu, kemudian dibangun pula tempat bermukim para santri di sekitar kediaman kiai tadi. Semakin banyak santri yang ingin menuntut ilmu, akan semakin banyak pula pondok yang dibangun.

Di masa lalu, biaya kehidupan dan pendidikan di pesantren disediakan bersama-sama oleh para santri dengan dukungan masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Cara tersebut dimaksudkan agar kehidupan di pesantren tidak terpengaruh dengan gejolak yang ada di luar.

Cikal bakal lahirnya pondok pesantren diduga ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan Sunan Ampel, mendirikan sebuah padepokan di Ampel, Surabaya, jawa Timur. Meski pada waktu itu belum disebut pesantren, tetapi bisa dikatakan kalau yang dilakukan Sunan Ampel menjadi peletak dasar-dasar pendidikan pesantren di indonesia.

Santri-santri yang telah belajar dan cukup ilmu di padepokan Sunan Ampel. Kemudian satu per satu pulang ke daerahnya masing-masing dan mengamalkan ilmunya di sana. Maka murid-murid Sunan Ampel tersebut, mendirikan padepokan seperti apa yang telah mereka dapatkan di Padepokan Ampel. Ulama-ulama besar banyak yang lahir dari padepokan-padepokan tersebut.

Melansir dari laman tebuireng.online, pada 1899 Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren Tebuireng di Jombang, kemudian membentuk Nahdlatul Ulama (NU) yang kini menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia. Di sisi lain, rekan seperguruan Kiai Hasyim di Mekkah, Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, mendirikan pusat pendidikan Islam yang lebih modern, dengan kurikulum yang sedikit berbeda.

Kini, seiring perkembangan zaman, pesantren-pesantren sudah semakin modern, baik dari kurikulum maupun fisk bangunannya. Meski begitu, kesederhanaan dan keikhlasan yang digambarkan oleh kehidupan kiai dan para santrinya, masih menjadi nilai utama yang patut diteladani dari ajaran kehidupan di pesantren.

DEFINISI PESANTREN

stilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an dan, di mana kata “santri” (Jw: cantrik) berarti murid padepokan, atau murid orang pandai dalam Bahasa Jawa.[butuh rujukan] Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (فندوق) yang berarti penginapan.[butuh rujukan] Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kiai.[butuh rujukan] Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kiai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok.[butuh rujukan] Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kiai dan juga Tuhan.[butuh rujukan]

Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri.[butuh rujukan] Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.[butuh rujukan] Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[butuh rujukan] Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik

ELEMEN DASAR PESANTREN

Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan kiai [6] Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri. Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara kiai dan santri, dan antara satu santri dengan santri yang lain.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping adanya hubungan timbal balik antara kiai dan santri, dan antara santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa adanya sikap timbal balik antara kiai dan santri di mana para santri menganggap kiai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap kiai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi

Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi kiai dan ustaz untuk membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh kiai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.

Keadaan pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan keadaan pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan kiai) yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agaknya sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong besar dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

MASJID

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofier berpendapat bahwa: “Kedudukan masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [8]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.

Di Jawa biasanya seorang kiai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah kiainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya kiai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

PENGAJARAN KITAB-KITAB KLASIK

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap paham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan paham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (kiai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan sistem soroganwetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (gramatika Bahasa Arab) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (teologi Islam), (7) Tasawuf dan Etika, (8) cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah (retorika).

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para kiai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan kiai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan kiai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan kiai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.

Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti”

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di antaranya dapat menjadi kiai.

SANTRI

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan. Ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: – Santri mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. – Santri kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [11]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

KIAI

Istilah kiai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa  Kata kiai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar kiai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar kiai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan kiai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.

Kiai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian kiai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kiai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan perbuatan (Ar: ‘amaliyah), penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kiai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kiai

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran kiai sangat menentukan keberhasilan pesantren yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan gambaran kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

  • JENIS-JENIS PESANTREN

Pesantren salaf

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salaf.[butuh rujukan] Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salaf adalah para santri bekerja untuk kiai mereka – bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya – dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kiai mereka tersebut.[butuh rujukan] Sebagian besar pesantren salaf menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali.[butuh rujukan] Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh pada waktu pagi hingga mereka tidur kembali pada waktu malam.[butuh rujukan] Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kiai atau ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur’an.

Pesantren modern

Ada pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya).[butuh rujukan] Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri.[butuh rujukan] Pada pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah.[butuh rujukan] Pesantren campuran untuk tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah.[butuh rujukan] Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak.[butuh rujukan] Ada juga jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut seperti yang terdapat di Pondok Pesantren Al – Ittihad Cianjur.

Kurikulum Pesantren

Kajian Kitab Kuning

Kajian kitab kuning alias turats sudah melekat sebagai tradisi Pondok Pesantren. Kitab kuning adalah kitab klasik karya ulama-ulama terdahulu yang bermuatan ilmu agama yang mencakup fiqihaqidahakhlaktafsirhaditstata bahasa Arab alias nahwu dan shorof, tasawufilmu Falak, sampai kajian sosial & kemasyarakatan (muamalah). Kitab yang dikaji pun bervariasi, mulai dari Tafsir Jalalain di bidang tafsir, Fathul Qarib di bidang fiqh, Ihya Ulumuddin di bidang tasawuf, Arbain Nawawi di bidang hadits, Imrithi di bidang nahwu, hingga Nurul Anwar di bidang Ilmu Falak. Pondok Pesantren LirboyoKediriPondok Pesantren Al-AnwarRembangPondok Pesantren TermasPacitan hingga Pondok Pesantren LangitanTuban, Pondok Raudlatul Muta’alliminKudus, adalah Pondok Pesantren yang terkenal dengan kajian kitab kuningnya. Selain itu, ada pula Ma’had Aly, yaitu Lembaga Pondok Pesantren yang berfokus pada kajian kitab kuning dengan santri yang mendapat ijazah setingkat S1 dengan gelar Sarjana Agama (S.Ag.).

Tahfizul Qur’an

Selain kajian kitab kuning, ada pula beberapa pesantren yang berfokus pada program Tahfizul Qur’an, yakni program menghapal Al-Qur’an. Macam-macam metode diterapkan masing-masing pesantren untuk membuat santri lancar mengkhatamkan Al-Qur’an secara hapalan. Di antara Pesantren Tahfizul Qur’an yang terkenal adalah Pondok Pesantren Al-MunawwirKrapyakPondok Pesantren Sunan PandanaranSlemanPondok Pesantren Yanbu’ul Qur’anKudus, hingga Pondok Pesantren Darul Qur’an.

Bahasa

Beberapa Pesantren juga menerapkan kurikulum bahasa untuk santrinya. Biasanya, kurikulum ini berlaku di Pesantren Modern seperti Pondok Pesantren Gontor. Kurikulum bahasa ini berfokus pada Bahasa Inggris atau Bahasa Arab dengan kewajiban santri menggunakan kedua bahasa tersebut selama ada di lingkungan Pesantren.

Pendidikan Formal

Untuk menjawab arus modernisasi, beberapa pesantren juga menggelar pendidikan formal mulai dari tingkat SD/MISMP/MTsSMA/MA, hingga Perguruan Tinggi. Universitas Hasyim Asy’ariJombang dan Universitas Sains Al-Qur’anWonosobo adalah contoh universitas milik institusi Pondok Pesantren. Beberapa Madrasah formal juga menggelar pendidikan asrama untuk murid-muridnya sehingga bisa pula diklasifikasikan sebagai Pondok Pesantren. Ada pula pendidikan khas pesantren yang mendapat ijazah setingkat formal mulai dari setingkat SD, SMP, SMA, hingga S1.

Modernisasi pesantren

Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya:

  • Munculnya wancana penolakan taqlid dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai isu sentral yang mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana publik.
  • Kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda.
  • Terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi Islam mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.
  • Dorongan kaum Muslim untuk memperbarui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.[17]

dari sumber :https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren