review film : turning red
Turning Red sejatinya seperti diary sang sutradara, Domee Shi. Ia membawa penonton ke kenangan semasa remaja melalui kehidupan perempuan berusia 13 tahun bernama Meilin ‘Mei’ Lee yang juga tokoh utama film ini. Shi menggambarkan Mei selayaknya remaja-remaja pada umumnya, merasa bebas, punya geng, hingga menjadi penggemar fanatik sebuah boyband. Belum lagi ibunda Mei, Ming Lee, yang seperti tipikal orang tua dengan anak remaja pada umumnya, mengawasi gerak-gerik anak mereka dengan detail demi tujuan mulia: tidak salah jalan.
Hanya saja, Turning Red memiliki bumbu premis bersuasana magis, yaitu kondisi Mei yang bisa menjelma menjadi panda merah raksasa bila ia tidak bisa mengendalikan emosinya yang meluap-luap akibat pubertas.
Masa pubertas ini yang menimbulkan berbagai konflik antara Mei dengan sekelilingnya. Sehingga, Turning Red sebenarnya tidak jauh beda dengan film ‘coming of age’ lainnya. Namun, Turning Red bisa mengisahkan kisah klasik pergulatan emosi remaja itu dengan konflik yang dapat dinikmati dan terkesan tetap menyenangkan.
Sutradara mengemas konflik Mei dengan sekelilingnya dengan apik dan hati-hati. Hal ini patut dipuji lantaran bila tidak, akan terkesan tendensius dan menghakimi karakter tertentu. Meski karakter Mei Lee terasa begitu kuat, ia masih mampu padu ketika dipertemukan dengan sifat karakter lainnya. Hal itulah yang menjadi kekuatan dari Turning Red, yaitu para karakternya. Dalam Turning Red, Domee Shi berhasil mengorkestrasikan karakter remaja dengan orang tuanya sehingga menghasilkan hubungan yang dinamis. Mei dan Ming Lee yang menjadi poros utama Turning Red juga disokong dengan keberadaan karakter lainnya. Salah satunya adalah keberadaan geng Mei yang begitu mendukungnya saat menjadi panda merah raksasa. Keberadaan geng tersebut bak menggambarkan salah satu momen indah semasa remaja, ketika memiliki sekelompok sahabat yang seiya sekata dan saling mendukung satu sama lain.Sementara itu, keberadaan ayah Mei, Jin, juga terasa cukup penting dalam kekayaan cerita Turning Red meski dialognya tak banyak. Ia adalah penyeimbang antara Mei dan Ming. Di sisi lain, aspek magis yang terkesan jadi jualan utama Turning Red, panda merah raksasa, sejatinya hanyalah bumbu-bumbu semata dan kurang mengesankan. Narasi itu hanya ditampilkan riwayatnya secara singkat. Seolah penulis ingin fokus dengan konflik ibu-anak dan bagaimana mereka menghilangkan ‘kutukan’ panda merah tersebut.Selain itu, legenda panda merah seperti yang ada di Turning Red juga terlihat menjadi formula yang sering digunakan oleh Pixar di film lainnya. Sebut saja Onward dengan konsep dunia sihir hingga Coco dengan konsep ‘afterlife’.
Hal itu membuat formula Turning Red tidak terasa baru, meski karakter dan unsur budaya yang diangkat berbeda dari sebelumnya
sumber artikel ─── ★ CNN Indonesia